Tim Sepak Bola Tunanetra Sudan Selatan Bermimpi Raih Prestasi Paralimpiade

Tim Sepak Bola Tunanetra Sudan Selatan Bermimpi Raih Prestasi Paralimpiade

Yona Sabri Ellon tidak bisa melihat bola di kakinya, tapi dia bisa mendengarnya. Suara gemerincing samar membimbingnya melewati seorang bek dan dia menendangnya ke gawang lawan.

Ellon telah membawa tim sepak bola tunanetra Sudan Selatan semakin dekat dengan impian mereka untuk tampil di Paralimpiade 2028 di California.

Pemain depan berusia 22 tahun ini mewakili Bintang Terang Sudan Selatan, yang melakukan debut internasional mereka di turnamen sepak bola tunanetra pria perdana di Uganda minggu ini.

Bagi dia, ini lebih dari sekadar sepak bola.

Saya perlu mencetak lebih banyak gol untuk menghapus pandangan negatif terhadap orang buta di negara kami, katanya kepada AFP usai pertandingan.

Sepak bola tunanetra menggunakan bola berisi bel untuk mengarahkan pemain di tim lima lawan lima, dengan kata Spanyol voy yang artinya saya datang, diucapkan terus menerus agar rekan tim tahu posisinya.

Tim Sudan Selatan dimulai secara sederhana lima tahun lalu hanya dengan dua pemain, di bawah bimbingan pelatih kepala yang bisa melihat, Simon Madol Akol.

Ada potensi besar di dalam diri orang orang dengan berbagai jenis disabilitas yang perlu dibuka, ujarnya.

Tantangan

Akol mengembangkan tim menjadi 40 anggota, mewakili berbagai suku dari Sudan Selatan, negara termuda di dunia yang masih menghadapi konflik dan ketegangan etnis.

Melalui sepak bola lah kita akan mencapai perdamaian abadi di Sudan Selatan, kata Ellon, salah satu dari delapan orang yang ikut ke Kampala.

Ellon kehilangan penglihatannya karena glaukoma saat berusia 10 tahun. Selama bertahun tahun dia berhenti sekolah, yakin bahwa akhir dari penglihatannya berarti akhir dari pendidikannya dan cintanya pada sepak bola.

Bintang Terang mengubah itu semua.

Tantangan telah menjadi sahabat terbaik kami, katanya.

Ada banyak tantangan seperti itu.

Lapangan sepak bola umum Sudan Selatan rusak dengan lubang lubang, berbahaya bagi pemain tunanetra.

Hanya ada satu lapangan aman dan mereka harus membayar untuk menggunakannya, kata pelatih Akol.

Komite paralimpiade resmi negara itu baru dibentuk sebulan lalu setelah satu dekade berusaha mendaftar.

Namun turnamen mini pertama sejenis di Kampala, yang juga diikuti tim dari Uganda dan Zimbabwe, merupakan kesempatan untuk visibilitas lebih besar.

Menunjukkan bahwa orang dengan disabilitas bisa berkontribusi dan bahkan suatu hari mewakili negara mereka, itulah yang telah dilakukan para pemain itu, kata Robert Kidd, penasihat komunikasi di Light for the World, organisasi nirlaba yang mendukung pemain Sudan Selatan sejak 2020.

Dicintai dan Bangga

Di tribun di Kampala, sekelompok penonton kecil tapi antusias menyemangati para pemain.

Jalia Nankwanga, mahasiswi hukum di Universitas Makerere, melewatkan kuliah untuk menonton pertandingan pertama pada Senin, mendukung tim Uganda.

Nankwanga sendiri tunanetra tapi seorang teman membantunya mengikuti pertandingan.

Saat melihat sesama orang buta di lapangan, saya merasa dicintai dan bangga, katanya, menambahkan bahwa dia kini terinspirasi untuk bermain sendiri.

Pertandingan final berlangsung pada Rabu antara Sudan Selatan dan Uganda, penuh ketegangan.

Baru pada babak kedua kapten Sudan Selatan Martin Ladu Paul berhasil menendang penalti, memicu sorak sorai SSD, SSD, singkatan dari Sudan Selatan, dari tribun.

Sudan Selatan menang 3-0, tapi kedua tim melangkah maju menuju kualifikasi Paralimpiade.

Ikut serta dalam kejuaraan seperti ini sudah merupakan kemenangan bagi kami, kata Akol.